Senin, 09 Mei 2011

Alwan Al- Tafsir (Corak dan Karakter Tafsir) : Fiqih, Ilmi, Shufi Isyari, Adabi dan Ijtima’

BAB I
PENDAHULUAN
  1. 1 Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman, sehingga membuat kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini sangat absah menjadi referensi kehidupan umat manusia. Karena menurut Rahman al-Qur’an merupakan sebuah dokumen untuk umat manusia sekaligus sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbun dei (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Nabi yang ummi melalui perantara Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun lamanya. Proses penurunan wahyu dalam kurun waktu tersebut dilakukan dengan cara bertahap sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat pada masa Nabi, sehingga terangkum menjadi 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat. 
Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja penafsiran yang maksimal untuk menemukan pesan ideal Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi rangkaian ayat yang terdiam, karena al-Qur’an yang berwujud mushaf dan tidak lebih dari kumpulan huruf-huruf yang tidak akan mampu memberikan makna apa-apa, sebelum diajak berbicara. Hal ini merupakan konsekwensi rasional dari asumsi bahwa al-Qur’an – dalam pandangan kaum hermeneutis – merupakan teks diam dan tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.
  1. 2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana cara memahami alwan al- tafsir (corak dan karakter tafsir) : fiqih, ilmi, shufi isyari, adabi dan ijtima’

  1. 3 Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini adalah untuk mengetahui alwan al- tafsir (corak dan karakter tafsir) : fiqih, ilmi, shufi isyari, adabi dan ijtima’


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Karakteristik Tafsir
Secara etimologis, istilah karakteristik tafsir merupakan susunan dua kata yang terdiri dari kata; karakteristik dan tafsir. Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas (wikipedia http;//karakterisasi / corak tafsir diaskes tanggal 20 april )
Dalam kamus lengkap psikologi karya Chaplin, dijelaskan bahwa karakteristik merupakan sinonim dari kata karakter, watak, dan sifat yang memiliki pengertian di antaranya: (wikipedia http;//karakterisasi / corak tafsir diaskes tanggal 20 april )
  1. Suatu kualitas atau sifat yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan cirri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi, suatu objek, suatu kejadian.
  2. Intergrasi atau sintese dari sifat-sifat individual dalam bentuk suatu untas atau kesatuan.
  3. Kepribadian seeorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral.
Jadi di antara pengertian-pengertian di atas sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Chaplin, dapat disimpulkan bahwa karakteristik itu adalah suatu sifat yang khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek. Misalnya karakteristik tafsir artinya suatu sifat yang khas yang terdapat dalam literature tafsir, seperti sistematika penulisan, sumber penafsiran, metode, corak penafsiran dan lain sebainya.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan karakteristik tafsir adalah suatu sifat yang melekat dan kekal yang dapat dijadikan cirri untuk mengidentifikasi suatu penafsiran. Misalnya metode dan sumber penafsiran, laun (corak) penafsiran, sistematika, teknik penafsiran dan lain sebagainya. Namun istilah karakteristik sebuah tafsir dalam ‘Ulum al-Tafsir sering diidentifikasikan lewat metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak pemikiran penafsiran.
2.2 Pendapat Para Ulama Tentang Karakteristik Tafsir
Berbicara tentang karakteristik sebuah tafsir, di antara para ulama yang memiliki bentuk pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain) (wikipedia http;//pendapat para ulama tentang corak tafsir).
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian:
    1. Jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain).
    2. Kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsure-unsur yang terlibat lansung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsure yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
2.3 Karakteristik Tafsīr Isyārī dan Pandangan Ulama terhadapnya.
Tafsir shufi sebut juga dengan tafsir Isyari yaitu penafsiran orang-orang sufi terhadap al-Qur’an yang bermula dari anggapan bahwa riyadhah (latihan) Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap kandungan ayat tersebut untuk selanjutnya bisa dihayati dan diamalkan serta berujung pada kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Langkah-langkah tersebut mengisyaratkan betapa luas dan dalamnya ilmu-ilmu Allah, sehingga sebagian kecil saja yang bisa disingkap dan dikuasai oleh hamba-hamba-Nya. Dengan menguasai ilmu-ilmu Allah, maka seseorang akan sampai pada kesempurnaan iman dan makrifat kepada-Nya (Journal Menimbang Tafsīr Isyārī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya).
Kalangan ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr Isyārī. Sebagian mereka ada yang mengakuinya dan sebagian yang lain menolaknya. Pada satu sisi, mereka memandang bahwa menguasai tafsīr Isyārī merupakan bagian dari irfan, dan pada sisi yang lain mereka memandangnya sebagai kesesatan dan penyimpangan dari syari’at Penerapan tafsīr Isyārī diperagakan sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī dikisahkan, bahwa pada waktu setelah beberapa saat turun surat al-Nashr, ‘Umar bin Khaththab berkumpul dengan para sahabat, yang di dalamnya juga terdapat Ibn ‘Abbas yang ketika itu masih bocah (belia). Di antara yang kumpul tadi tidak ada yang menaruh hormat kepadanya, karena dia masih bocah, kecuali ‘Umar. Kemudian ‘Umar minta pendapat kepada seluruh yang hadir perihal firman Allah dalam surah al-Nashr Yang Artinya:” Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat” (Journal Menimbang Tafsīr Isyārī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya).
Dalam pendekatan sufistik terdapat dua pendekatan pemahan yang berbeda, yaitu pendekatan sufistik nadzhary dan pendekatan sufistik amali. Secara sederhana pendekatan sufistik nadzhary diartikan sebagai model penafsiran yang menekankan pemaknaan kata dengan melihat makna batin sebuah ayat, atau dapat pula diartikan sebagai usaha penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang melakukan justifikasi al-Qur’an terhadap teori-teori sufistik, seperti konsep tentang Khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan wihdat al-wujud. Sedangkan pendekatan sufistik amali adalah pendekatan yang dilakukan menggunakan analisis sufistik atau menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an (Journal Menimbang Tafsīr Isyārī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya).
2. 4 Karakteristik Tafsir Al-Fasafi
Tafsir yang menggunakan analisis disiplin ilmu-ilmu filsafat. Al-Dzahabi ketika mengomentari perihal tafsir falsafi antara lain menyatakan bahwa mnurut penyelidikannya dalam banyak segi pembahasan-pembahasan filsafat bercampur dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Di antara contohnya ia menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad. Contoh kitab tafsirnya adalah Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi.
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang kepada gerakan penerjemahan buku-buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Hal ini pula yang membawa Islam kepada pengenalan terhadap filsafat terutama dari buku-buku karangan Aristoteles dan Plato. Filsafat dianggap sebagai hal baru yang dapat mengeksplor pemikiran mereka dan oleh karena mereka sangat gandrung akan model pemikiran semacam ini, maka dari sinilah mengapa sebagian orang Islam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat atau yang disebut dengan tafsir falsafi. (Journal Menimbang Tafsīr Al-falsafī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya voll -34-79).
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an adalah bagaimana para filosof membawa pikiran-pikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Diantara tokohnya adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Sedang Thaba’ Thaba’i sendiri memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada sebagian ayat saja (http://www.ziddu.com/download/10281685/tafsirfalsafi.rar.html )
2.5 Karakterisasi Tafsir Al-Adabi
Tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur`an dari segi ketelitian redaksi, kemudian menyusun kandungan ayat tersebut dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan al-Qur`an yaitu petunjuk dalam kehidupan dan mengadakan penjelasan ayat dengan hukum yang berlaku.
Menurut M. Quraish shihab unsur pokok tafsir adabi adalah:
    1. Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur`an
    2. Mengurikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dengan susunan kalimat yang indah
    3. Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikan al-Qur`an
    4. Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Contoh:
  • Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla
  • Tafsir al-Qur`an olerh syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi
  • Tafsir al-Qur`an al-karim karya Mahmud Syaltut dan
  • Tafsir al-Wadlih karya Muhammad Mahmud Hijazy

Kelebihan dari Tafsir Adabi adalah :
    1. Membumikan Al-Qur`an dalam kehidupan
    2. Menjadikan ajaran Al-Qur`an praktis dan pragmatis
    3. Mendorong semangat obyektifitas dan rasa persatuan
    4. Membangkitkan dinamika umat Islam untuk membangun dunia yang lebih cerah
2.6 Karakterisasi Tafsir Al -Ilmi
Menurut penelitian Tanthawi, tidak kurang dari 750 ayat Al Quran berbicara dan rnendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fikih - yang tidak lebih dari 500 ayat shareh - dan lengah terhadap arahan Al Quran tentang ilmu tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah salah satu hujjah mengapa Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir dengan pendekatan ilmiah, sebagaimana tertuang dalam mukaddimah tafsirnya (Jilid 1:3) (Wikipedia;http;// contoh tafsir ilmi Apr 17, '07 2:38 PM ).
Menurut Jansen dalam Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern (1977:72), model penafsiran Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga kini, terutama mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dsb. Tetapi ada saja sekelompok orang yang justru menyerang pendapat-pendapat Tanthawi. 'Serangan-serangan itu dijawabnya dengan senyum dan hujjah intelektual.
2.7 Karakterisasi Tafsir Fiqhi
adalah corak tafsir yang lebih menitik beratkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur,an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam alqur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW., kemudian para shahabat, diantara mereka yang paling terkenal adalah sepuluh orang yaitu ; empat khulafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibnu Zubair. Baru setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin ( pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin. Di masa Rasulullah para sahabat memahami Al-Qur’an dengan “insting” kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah SAW lalu beliau menjelaskan kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafa al Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya.
Mereka pun sepakat atas hal tersebut.jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami suatu lafazh, seperti perselisihan mereka mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? ini semua mengingat kepada berfirman Allah: Hai Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
2.8 Karakterisasi Tafsir Al-ijtima’
Adapun kata ijtima’iy berasal dari kata ijtima’; merupakan bentuk mashdar dari ijtama’a – yajtami’u – ijtima’ yang berfaedah muthawa’ah/akibat dari kata kerja jama’a (mengumpulkan), sehingga kata ijtima’ berarti “berkumpul/perkumpulan/social”. Kata ijtima’iy adalah bentuk nisbat yang memiliki makna sifat, sehingga ia berarti “bersifat social”. Berkaitan dengan arti kata ini, ada istilah ‘ilm al-ijtima’ (ilmu social) yang berarti ilmu yang membahas tentang munculnya kelompok-kelompok manusia, perkembangannya, kebiasaannya, undang-undangnya, dan aturan-aturannya. Kelompok-kelompok manusia ini disebut al-mujtama’ yang berarti masyarakat (Wikipedia http;// corak Tafsir Adabiy Ijtima'iy)

Merujuk kepada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan tentang pengertian tafsir adabiy ijtima’iy, yaitu mengungkapkan dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan dalam al-Qur’an menurut kemampuan manusiawi dengan menonjolkan sisi tujuan al-Qur’an sebagai kitab hidayat dalam menata aspek-aspek social kemasyarakatan
Usaha untuk menafsirkan al-Qur’an dari seorang mufassir terkadang masih saja terdapat kekurangannya vbaik dalam aspek metodologinya maupun dalam aspek kajian makna kandungannya. Oleh karena itu, menurut para ahli terdapat tafsir yang belum mencapai taraf ideal yakni belum menjadikan al-Qur’an sebagai kitab tuntunan (hidayat) yang practicable dan realizable. Adanya penyimpangan dalam orientasi sebagian tafsir klasik dirasakan dan dicermati oleh ulama tafsir kontemporer seperti Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya kemudian memprakarsai lahirnya jenis tafsir adabiy-ijtima’iy (Wikipedia http;// corak Tafsir Adabiy Ijtima'iy)












BAB III
KESIMPULAN

Tafsir sebagai sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan penafsir itu sendiri, adalah suatu hasil ijtihad yang sifatnya subjektif karena sebuah tafsir sangat besar sekali dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mufassirnya, maka tidak sewajarnya mufassir yang satu dengan yang lainnya merasa lebih benar. Semua karya tafsir adalah bersifat relatif dan tafsir yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih valid dari tafsir yang lainnya apalagi sampai mensakralkan sebuah karya tafsir
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Quran. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.

Macam-macam Corak Tafsir
1. Tafsir shufi
2. Tafsir Ilmi
3. Tafsir Fiqhi
4. Tafsir Adabi
5. Tafsir Falsafi





DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Jurnal Online .tafsir, metodologi, sufi, isyari, nazari diaskes : 17 April, 2011, 13:38,Voll 2-6
Journal. Menimbang Tafsīr Isyārī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Wikipedia http;//karakterisasi corak tafsir.//diaskes tanggal 20 april
Wkipedia http;//pendapat para ulama tentang corak tafsir// diaskes tanggal 17april
Journal. Menimbang Tafsīr Isyārī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Wikipedia;http;// contoh tafsir ilmi Apr 17, '07 2:38 PM // diaskes tanggal 17april
Wikipedia http;// corak Tafsir Adabiy Ijtima'iy// diaskes tanggal 17april


Tidak ada komentar:

Posting Komentar